ABSTRACT 06008922 Akhir-akhir ini banyak sekali
kasus pelanggaran prinsip kehati-hatian terjadi dalam perbankan nasional.
Padahal prinsip ini sudah disyaratkan dalam peraturan perbankan dimana bank
dalam menjalankan usahanya harus berdasarkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini
sangat diperlukan terutama dalam hal penyaluran kredit karena sumber dana
kredit yang disalurkan adalah bukan dari bank itu sendiri tetapi dana yang
berasal dari masyarakat sehingga perlu penerapan prinsip kehati-hatian melalui
analisa yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan dan
pemantauan yang baik, perjanjian yang sah dan memenuhi syarat hukum, pengikatan
jaminan yang kuat dan dokumentasi perkreditan yang teratur dan lengkap.
Semuanya itu bertujuan agar kredit yang disalurkan tersebut dapat kembali tepat
pada waktunya sesuai dengan peljanjian kredit. Apabila kredit yang telah
disalurkan kepada masyarakat dalam jumlah besar tidak dibayar kembali kepada
bank tepat pada waktunya, maka kualitas kredit dapat digolongkan menjadi Non
Performing Loan (NFL) yang berujung pada kredit macet, Kalau sudah terjadi
kredit macet secara langsung telah menurunkan citra dan kredibilitas bank di
mata publik dan perbankan internasional. Selain itu anjloknya citra bank telah
meningkatkan tingkat resiko reputasi pada bank tersebut. Akhirnya adalah muncul
kekhawatiran masyarakat untuk berhubungan dengan bank. Dengan diterapkannya
prinsip kehati-hatian, memang tidak menjamin 100% tidak akan timbul kredit
macet, tapi setidaknya bisa meminimalisir terjadinya kredit macet. Recently,
there are so many deviations on prudential principle occurring in national
banking. The principle has been, in fact as the requirement in Banking Rules.
In performing its business, bank should be based on attentive principle. This
principle is so important particularly in the distribution of credit since the
fund is not derived merely from the bank, but it is from society. Here, it is
necessary to have attentiveness principle through accurate and deep analysis,
precise distribution, good supervision and observation, legal agreement and
fulfilling law requirements, strong binding guarantee, and complete credit
documentation. All are intended to make good distribution of credit and it is
on time and in accordance with credit agreement. Whenever, the credit which has
been distributed in plenty amount to the society and it is not paid on time to
the bank, then, the quality of credit may be classified into non performing
loan (NPL) which is leading into stagnated credit. Stagnated credit is directly
reducing the credibility of bank in public and in international. In addition,
the reduced of bank reputation will add the reputation risk on the bank.
Consequently, there is the anxiousness of bank in financing to real sector.
Also, the society will be anxious in having connection with bank. By applying
the attentiveness principle, it does not, in fact guarantee for 100% of
occurring the stagnated credit, but it is at least to minimize the occurrence
of stagnated credit. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.,
Memaknai
Prinsip Kehati-hatian Bank, Khususnya Bank Perkreditan Rakyat
Posted on June 7, 2013by zinsari
Usaha perbankan khususnya Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) adalah usaha yang berisiko, dimana sebagian besar dana dihimpun dari
masyarakat disalurkan dalam bentuk kredit yang diberikan, sehingga wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian atau yang juga dikenal dengan prudent
principles. Setiap rupiah yang disalurkan dalam bentuk kredit, bank harus
berkeyakinan bahwa akan digunakan oleh debitur sesuai dengan perjanjian dan
debitur mau serta mampu mengembalikannya kepada bank sesuai dengan waktu dan
jumlah yang sudah diperjanjikan. Bank juga harus secara hati-hati dalam
pengelolaan portfolio yang dimiliki, sehingga selalu dalam kondisi baik.
Sebagai otoritas perbankan, Bank Indonesia menetapkan berbagai peraturan yang
terkait dengan penerapan prinsip kehati-hatian bagi bank.
Berdasarkan SK DIR BI No.26/20/KEP/DIR, Tanggal 29
Mei 1993 dan SE BI No.26/2/BPPP Tanggal 29 Mei 1993, Cakupan Prinsip
Kehati-hatian, meliputi :
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
Kualitas Aktiva Produktif (KAP)
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
1. KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM (KPMM)
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia
Nomor:8/18/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Penyediaan Modal Minimum
BPR, ditetapkan sebagai berikut :
BPR wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% dari
ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko).
Modal terdiri dari modal inti dan modal pelengkap.
Modal inti terdiri dari:
a. modal disetor;
b. agio;
c. dana setoran modal;
d. modal sumbangan;
e. cadangan umum;
f. cadangan tujuan;
g. laba ditahan setelah diperhitungkan pajak;
h. laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak; dan
i. laba tahun berjalan, diperhitungkan sebesar 50% (lima puluh perseratus)
setelah taksiran pajak.
c. dana setoran modal;
d. modal sumbangan;
e. cadangan umum;
f. cadangan tujuan;
g. laba ditahan setelah diperhitungkan pajak;
h. laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak; dan
i. laba tahun berjalan, diperhitungkan sebesar 50% (lima puluh perseratus)
setelah taksiran pajak.
Modal inti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa pos:
a. goodwill;
b. disagio;
c. rugi tahun-tahun lalu; dan
d. rugi tahun berjalan;
a. goodwill;
b. disagio;
c. rugi tahun-tahun lalu; dan
d. rugi tahun berjalan;
Modal pelengkap terdiri dari:
a. cadangan revaluasi aktiva tetap;
b. PPAP umum, setinggi-tingginya sebesar 1,25% (seratus dua puluh lima per
sepuluh ribu) dari aktiva tertimbang menurut risiko;
c. modal pinjaman (hybrid/quasi capital), dengan persyaratan:
b. PPAP umum, setinggi-tingginya sebesar 1,25% (seratus dua puluh lima per
sepuluh ribu) dari aktiva tertimbang menurut risiko;
c. modal pinjaman (hybrid/quasi capital), dengan persyaratan:
d. pinjaman subordinasi, setinggi-tingginya sebesar
50% (lima puluh
perseratus) dari modal inti,
Modal pelengkap hanya dapat diperhitungkan
setinggi-tingginya 100% dari modal inti.
BPR dilarang melakukan distribusi laba jika
distribusi dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan BPR tidak mencapai rasio
8%
Bagaimana ketentuan KPMM bisa berimplikasi terhadap
kehati-hatian bank?
KPMM dikaitkan dengan penilaian tingkat kesehatan
bank, sehingga bank akan selalu berupaya agar rasio CAR (Capital Adequacy
Ratio) pada tingkat yang aman. Portfolio kredit yang diberikan merupakan
komponen besar dari ATMR secara langsung mempengaruhi rasio CAR, sehingga
ekspansi kredit harus selalu memperhitungkan dampaknya terhadap nilai rasio
CAR.
Disamping itu, bank akan selalu berupaya
meningkatkan laba dan menghindari kerugian, karena laba/rugi setelah pajak akan
mempengaruhi komponen modal inti bank.
Selain itu juga ada ketentuan bahwa apabila rasio
CAR lebih kecil dari 4%, BPR akan ditetapkan dalam pengawasan khusus Bank
Indonesia. Pada status DPK, bank hanya diberi kesempatan 180 hari untuk
meningkatkan rasio CAR hingga mencapai minimal 4% dan ruang gerak operasional
dapat menjadi sangat terbatas. Bank dalam status DPK sering juga diibaratkan
manusia masuk ICU, sehingga kondisi seperti ini harus dihindari.
2. KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF (KAP)
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor:8/19/PBI/2006
tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kualitas Produktif dan Pembentukan Penyisihan
Aktiva Produktif BPR dan Peraturan Bank Indonesia nomor 13/26/PBI/2011 tentang
Perubahan atas PBI no 8/19/PBI/2006, ditetapkan sebagai berikut :
Aktiva Produktif adalah penyediaan dana BPR dalam
Rupiah untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk Kredit, Sertifikat Bank
Indonesia dan Penempatan Dana Antar Bank.
Aktiva Produktif yang diklasifikasikan adalah aktiva
produktif yang sudah mengandung potensi tidak memberikan penghasilan atau
menimbulkan kerugian bagi BPR.
Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Kredit
ditetapkan dalan 4 (empat) golongan, yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan
Macet.
Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan
Dana Antar Bank ditetapkan dalam 3 (tiga) golongan sebagai berikut : Lancar,
Kurang Lancar dan Macet.
Kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan oleh BPR
dapat diturunkan oleh Bank Indonesia dengan professional
judgement apabila terjadi kondisi sebagai berikut:
1. Debitur tidak
diketahui lagi keberadaannya dan /atau
2. Usaha Debitur
bangkrut
Bagaimana ketentuan KAP bisa berimplikasi
terhadap kehati-hatian bank?
Rasio KAP termasuk dalam unsur penilaian tingkat
kesehatan bank (TKS), dimana rasio KAP dihitung sebagai Aktiva Produktif yang
Diklasifikasikan dibagi dengan Total Aktiva Produktif. Dengan demikian bank
akan selalu berupaya meningkatkan kualitas aktiva produktifnya dan selalu
berhati-hati di dalam pengalokasian aktiva produktifnya.
Kredit yang diberikan merupakan komponen besar dalam
aktiva produktif, sehingga bank akan memilih debitur yang baik dan melakukan
pengawasan terhadap debiturnya pasca pemberian kredit hingga penyelesaian
kredit terhadap debitur-debitur yang bermasalah.
3. PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF(PPAP
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif adalah
cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari baki debet
berdasarkan penggolongan kualitas Aktiva Produktif.
PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF SESUAI PBI
NO. 8/19/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006.
Pasal 12:
BPR wajib membentuk PPAP berupa PPAP umum dan PPAP
khusus.
PPAP umum ditetapkan paling kurang sebesar 0,5%
(lima permil) dari Aktiva Produktif yang memiliki kualitas Lancar, tidak
termasuk Sertifikat Bank Indonesia.
PPAP khusus ditetapkan paling kurang sebesar :
10% dari Aktiva Produktif dengan kualitas Kurang
Lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
50% dari Aktiva Produktif dengan kualitas Diragukan
setelah dikurangi dengan nilai agunan;
100% dari Aktiva Produktif dengan kualitas Macet
setelah dikurangi dengan nilai agunan;
BPR wajib melakukan penilaian atas agunan untuk
mengetahui nilai ekonomisnya
Bagaimana ketentuan PPAP bisa berimplikasi
terhadap kehati-hatian bank?
Keharusan membentuk PPAP sesuai kualitas aktiva
produktif (kolektibilitas), semakin jelek kualitas aktiva produktifnya semakin
besar PPAP yang harus dibentuk.
Setiap pembentukan PPAP akan menimbulkan beban PPAP
yang secara langsung akan mengurangi laba bank atau bahkan berbalik menjadi
kerugian apabila beban bank lebih besar dari pada pendapatan bank, sehingga
dengan demikian bank akan selalu berusaha menjaga kualitas aktiva produktifnya,
termasuk mendapatkan jaminan berupa agunan yang bernilai tinggi.
4. BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT (BMPK)
BMPK adalah persentase maksimal realisasi penyediaan
dana terhadap modal BPR yang mencakup kredit dan penempatan dana BPR di bank
lain, kecuali giro.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/13/PBI/2009
tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit BPR
Pelanggaran BMPK yaitu selisih lebih persentase
penyediaan dana pada saat direalisasikan terhadap modal BPR dengan persentase
BMPK.
Pelampauan BMPK yaitu selisih antara persentase
penyediaan dana yang telah direalisasikan terhadap modal BPR pada saat tanggal
laporan dengan persentase BMPK, dan penyediaan dana tersebut tidak melanggar
BMPK pada saat direalisasikan.
BPR dilarang membuat perjanjian kredit yang dapat
mengakibatkan terjadinya pelanggaran BMPK.
BPR dilarang memberikan penyediaan dana yang
mengakibatkan terjadinya pelanggaran BMPK.
Penyediaan dana kepada pihak terkait ditetapkan
paling tinggi 10% dari modal BPR.
Penyediaan Dana dalam bentuk Penempatan Dana Antar
Bank kepada BPR lain yang merupakan Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling
tinggi 20% (dua puluh persen) dari Modal BPR.
Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada 1 (satu)
Peminjam Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen)
dari Modal BPR.
Penyediaan dana dalam bentuk kredit kepada 1 (satu)
kelompok peminjam pihak tidak terkait ditetapkan paling tinggi 30% dari Modal
BPR.
BMPK dihitung berdasarkan baki debet kredit.
BPR wajib menyusun action plan penyelesaian
pelanggaran dan/ atau pelampauan BMPK.
Action plan wajib memuat paling kurang
langkah-langkah untuk penyelesaian pelanggaran dan/atau pelampauan BMPK serta
target waktu penyelesaian.
Target waktu penyelesaian pelanggaran BMPK paling
lambat dalam jangka waktu 3 bulan sejak action plan disampaikan kepada BI.
Target waktu penyelesaian pelampauan BMPK akibat
penurunan modal, penggabungan usaha, peleburan usaha, pengambilalihan usaha,
perubahan struktur kepemilikan dan/atau kepengurusan yang menyebabkan perubahan
Pihak Terkait dan/atau kelompok Peminjam, paling lambat 6 bulan sejak action
plan disampaikan kpd BI atau sampai dengan kredit jatuh tempo.
Target waktu penyelesaian pelampauan BMPK akibat
perubahan ketentuan, paling lambat 12 bulan sejak action plan disampaikan
kepada BI atau sampai dengan kredit jatuh tempo.
Ketentuan BMPK dikecualikan untuk:
Penempatan Dana Antar Bank pada Bank Umum, termasuk
Bank Umum yang memenuhi kriteria Pihak Terkait;
Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh:
Agunan dalam bentuk agunan tunai berupa deposito
atau tabungan di BPR;
Emas dan/atau logam mulia; dan/atau
Sertifikat Bank Indonesia,
sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa
pencairan/penjualan yang tidak dapat dibatalkan dari pemilik agunan untuk
keuntungan BPR penerima agunan, termasuk pencairan/penjualan sebagian untuk
membayar tunggakan angsuran pokok/bunga;
jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada
huruf a) paling kurang sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana; dan
untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada angka
1) dan angka 2), disimpan atau ditatausahakan pada BPR yang bersangkutan.
Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh Pemerintah
Indonesia secara langsung maupun melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
jaminan bersifat tanpa syarat (unconditional) dan
tidak dapat dibatalkan (irrevocable);
harus dapat dicairkan paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sejak klaim diajukan, termasuk pencairan sebagian; dan
mempunyai jangka waktu penjaminan paling kurang sama
dengan jangka waktu Penyediaan Dana.
Bagian Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain
sepanjang memenuhi persyaratan:
Terdapat kesepakatan antar BPR yang menempatkan
dananya dengan BPR lain yang menerima penempatan dana;
Dalam rangka menanggulangi kesulitan likuiditas BPR;
dan
Bagian Penempatan Dana dimaksud:
merupakan simpanan/iuran/porsi dana yang wajib
ditempatkan oleh BPR pada BPR lain sesuai kesepakatan sebagaimana dimaksud pada
angka 1); atau
berasal dari simpanan/iuran/porsi dana dari BPR-BPR
yang ditujukan untuk menanggulangi kesulitan likuiditas masing-masing BPR.
Kredit kepada anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris dan/atau pegawai BPR yang memenuhi kriteria Pihak Terkait yang
ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan serta dibayar kembali dari pendapatan
yang diperoleh dari BPR yang bersangkutan dikecualikan sebagai pemberian Kredit
kepada Pihak Terkait.
PIHAK TERKAIT:
a) Pemegang saham yg memiliki
saham 10% atau lebih dari modal disetor;
b) Anggota Dewan Komisaris;
c) Anggota Direksi;
d) Pihak yg mempunyai hubungan
keluarga s.d. derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal dg pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf c;
e) Pejabat Eksekutif;
f) Perusahaan-perusahaan
bukan Bank yg dimiliki oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a
sampai dengan huruf e yg kepemilikannya baik individual maupun keseluruhan
sebesar 25% atau lebih dari modal disetor perusahaan;
g) BPR lain yang dimiliki
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e yg kepemilikannya
secara individual sebesar 10% atau lebih dari modal disetor BPR lain tersebut;
h) BPR lain yang:
1) Anggota Dewan
Komisarisnya merupakan anggota Dewan Komisaris BPR; dan
2) Rangkap jabatan pada BPR
lain dimaksud merupakan 50% atau lebih dari jumlah keseluruhan anggota Dewan
Komisaris dan Direksinya.
i) Perusahaan yg 50% atau
lebih dr jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksinya
merupakan anggota Dewan Komisaris BPR;
j) Peminjam yg diberikan
jaminan oleh pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i.
Bagaimana ketentuan BMPK dapat berimplikasi terhadap
kehati-hatian bank?
Adanya ketentuan BMPK membuat bank membatasi plafon
pemberian kredit maupun penempatan deposito pada bpr lain berdasarkan
besarnya modal yang dimiliki bank, aktiva produktif tidak terpusat pada
beberapa debitur besar atau pada kelompok debitur, sehingga akan terjadi
penyebaran risiko.
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM OPERASIONALISASI
PERBANKAN SYARIAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa : “ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan , kemandirian , serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional “.
Perbankan Syariah sebagai sebuah lembaga keuangan yang bertugas dan bertujuan memajukan ekonomi bangsa tentunya tunduk dan patuh pada ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 termaksud, sehingga dengan demikian Bank Syariah secara yuridis Normatif dan yuridis empiris diakui keberadannya di Negara Republik Indonesia. Pengakuan secara yuridis normative tercatat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia , diantaranya, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 10 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998 tentang Perbankan, undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selain itu pengakuan secara yuridis empiris dapat dilihat Perbankan Syariah tumbuh dan berkembang pada umumnya di seluruh Ibukota Provinsi dan Kabupaten di Indonesia.
Bahwa sesuai dengan Visinya Perbankan Syariah harus dapat mewujudkan sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian yang mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil ( share-based financing) dan transaksi dalam rangka keadilan, tolong menolong menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat.
Sehubungan dengan operasionalisasi Perbankan Syariah, bank syariah dituntut untuk menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini secara khsusus dan tegas dicantumkan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Mekanisme kebijakan yang sarat diwarnai oleh proses tarik ulur, lemahnya penegakan hukum serta rontoknya keterlibatan hukum, telah memberikan sumbangan yang besar terhadap komplikasi persoalan di lingkungan perbankan. Padahal goyahnya lembaga perbankan tidak hanya disebabkan oleh memburuknya posisi devisa netto dan meroketnya rekening administratif dalam valuta asing, tetapi itu juga berkaitan dengan rontoknya likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas bank, seperti yang terlihat melalui besaran non perfoming loan dan merosotnya return on assets.
Menurut penulis, prinsip kehati-hatian itu harus dijalankan oleh bank tidak hanya karena dihubungkan dengan kewajiban bank untuk tidak merugikan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank, tetapi juga karena kedudukan bank yang istimewa dalam masyarakat, yaitu sebagai bagian dari sistem moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat yang bukan hanya nasabah penyimpan dan dari bank itu saja.
Pelaksanaan prinsip kehati-hatian itu harus pula tercermin dalam kaitannya dengan kewajiban bank berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dikaitkan dengan ketentuan Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian undang-undang tersebut telah diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perbankan diharuskan untuk menempuh kebijakan perkreditan yang berwawasan lingkungan .
Menurut ketentuan Pasal 2 UU No. 10 Tahun 1998 dikemukakan, bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan Demokrasi Ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian dari ketentuan ini , menunjukkan bahwa prinsip kehati-hatian adalah salah satu asas penting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Prinsip kehati-hatian tersebut mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad baik. Akar dari ukuran teknis perbankan itu ternyata bermuara pada dua persoalan pokok , yaitu lemahnya institusi pengawasan dan pudarnya prinsip prudential banking.
Berkaitan dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 di atas, kita dapat menemukan pasal lain di dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang mempertegas kembali mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian ini diterapkan dalam setiap kegiatan usaha bank, yakni dalam Pasal 29 ayat (2) yang mengemukakan bahwa :
“Bahwa bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (2) di atas, maka tidak ada alasan apapun juga bagi pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian. Ini mengandung arti, bahwa segala perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat dalam rangka melakukan kegiatan usahanya harus senantiasa berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Risiko yang sering terjadi dalam usaha perbankan pada umumnya adalah risiko kredit macet atau Non Performing Loan ( NPL). Faktor penyebab risiko kredit macet antara lain karena kesalahan penggunaan kredit, manajemen pengggunaan kredit yang buruk, serta kondisi perekonomian yang mempengaruhi iklim usaha dalam negeri, oleh karena itu apa yang disebut dalam Pasal 8 ayat (1) harus benar-benar diterapkan oleh setiap perbankan , yaitu :
“ Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan “.
Dengan kata lain munculnya atau timbulnya kerugian bagi bank adalah akibat dari banyaknya kredit macet sebagai akibat dari adanya salah kelola atau salah menerapkan prinsip-prinsip manajemen yang baik. Dan untuk menghindari adanya tumpukan kredit macet maka perlu diterapkan prinsip kehati-hatian dengan konsisten (istiqomah).
Untuk melihat sejauh mana pengaruh penerapan Prinsip Kehati hatian ini dalam operasionalisasi lembaga Perbankan khususnya Perbankan Syariah, maka issu sentral yang akan dibahas dalam Tugas atau Makalah ini adalah : “ HAKIKAT PRINSIP KEHATI HATIAN DALAM OPERASIONALISASI PERBANKAN SYARIAH”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Sejauh mana pengaruh penerapan Prinsip Kehati hatian dalam menyehatkan perbankan !
2. Bagaimana fungsi dan peranan prinsip kehati-hatian didalam mengelola dan mengoperasikan bank syariah ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai islam ( syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam sistem hukum nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah.
Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung vital adalah adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut diantaranya dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Pembentukan Undang-undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaan bagi berkembangnya lembaga tersebut. Pengaturan mengenai Perbankan Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha Bank Syariah berkembang cukup pesat.
Dalam penjelasan Pasal 2 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ Prinsip kehati-hatian “ adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka menjalankan asas Prinsip kehati hatian ini, pengelolaan sebuah bank secara baik berdasarkan prinsip-prinsip perbankan yang sehat dan dinamis (prudential banking), harus dilakukan beberapa langkah sebagai berikut :
1. Perumusan kebijaksanaan bank
Secara ringkas ada dua macam kebijaksanaan bank yang perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh, yaitu :
a. Kebijaksanaan yang dirumuskan sesudah pertimbangan-pertimbangan yang matang terhadap konsekuensi dari semua pilihan yang tersedia.
b. Kebijaksanaan yang timbul dari tunggal atau berulang-ulang.
Dalam prudential banking, Dewan Komisaris mempunyai kedudukan yang penting. Mereka bertugas tidak hanya melakukan pengawasan umum atau mengawasi kebijaksanaan , tetapi juga melakukan analisis atas berbagai masalah bank dan memberikan masukan-masukan penting bagi direksi dan staf – staf operasional.
2. Penyusunan rencana pengembangan organisasi
Pada dasarnya , perencanaan organisasi atau mengevaluasi organisasi yang ada adalah pembagian kerja (division of work) yang logis, penetapan garis wewenang yang jelas, pengukuran pelaksanaan dan prestasi. Melalui perencanaan yang demikian akan dapat dibuat struktur organisasi yang sehat dan efektif. Bagi bank-bank yang telah berjalan , dapat pula dilakukan reorganisasi guna penyesuaian organisasi pada kebutuhan bisnis masa kini.
3. Staffing dan pengembangan manajerial skill
Perencanaan manajemen bukanlah melaksanakan sendiri pemecahan masalah-masalah tertentu yang dihadapi, melainkan mengawasi bahwa tindakan-tindakan yang semestinya telah dilaksanakan oleh orang-oranag lain dengan cara yang teratur, efektif dan kontinyu.
4. Pengawasan internal
Kelancaran operasional bank adalah kepentingan paling utama dari direksi (top manajemen) melalui pengawasan, para manejer dapat menentukan tercapai tidaknya harapan mereka. Di samping itu, pengawasan ini dapat membantu manajer mengambil keputusan yang lebih baik.
5. Penetapan sistem manajemen
Sistem manajemen yang kita maksudkan dalam pembahasan ini adalah berhubungan dengan tata cara bank mengatur pola operasional dari berbagai aktivitas bank. Pola ini erat pula dengan sistem sentralisasi maupun desentralisasi.
6. Sound banking business sebagai suatu sistem universal yang harus diikuti oleh manajemen bank.
Sebagai agent of development, bank tidak semata-mata mengejar profit, tetapi juga memperhatikan prioritas-prioritas pembiayaan pembangunan nasional sesuai dengan tahap-tahap yang ditetapkan . dengan demikian , bank sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai financial intermediary atau perantara keuangan dari dua pihak, yakni pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana hendaklah memperhatikan prinsip-prinsip tersebut di atas dalam rangka melindungi pihak yang berkaitan dengannya.
Untuk mengetahui atau menentukan bahwa seseorang dipercaya untuk memperoleh kredit, pada umumnya dunia perbankan menggunakan instrument analisis yang dikenal dengan the fives of credit atau 5 C , 7 P dan 3 R .
A. Prinsip 5 C, yaitu :
1. Character ( Watak) : Watak merupakan bahan pertimbangan untuk mengetahui risiko.
2. Capital (modal) : Seseorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha atau bisnis sangat memerlukan modal untuk memperlancar kegiatan bisnisnya.
3. Capacity ( kemampuan) : Untuk dapat memenuhi kewajiban pembayaran Debitur harus memiliki kemampuan yang memadai yang berasal dari pendapatan pribadi. Seorang analis harus mampu menganalisis kemampuan Debitur untuk membayar kembali hutangnya.
4. Collateral (jaminan) : Jaminan berarti harta kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan guna menjamin kepastian pelunasan hutang jika dikemudian hari Debitur tidak melunasi hutangnya dengan jalan menjual jaminan dan mengambil pelunasan dari penjualan harta kekayaan yang menjadi jaminan itu.
5. Condition of Economy ( kondisi ekonomi): Kondisi ekonomi adalah situasi ekonomi pada waktu dan jangka waktu tertentu dimana kredit itu diberikan oleh Bank kepada pemohon. Apakah kondisi ekonomi pada kurun waktu kredit dapat mempengaruhi usaha dan pendapatan pemohon kredit untuk dapat melunasi hutangnya. Kondisi ekonomi Negara yang buruk sudah pasti mempengaruhi usaha pemohon kredit dan pendapatan perorangan yang akibatnya berdampak pada kemampuan pemohon kredit untuk melunasi hutangnya.
Prof. Dr. H. Abdullah Marlang,SH., MH., dalam kuliahnya menyatakan bahwa selain prinsip 5 C ini masih ada lagi prinsip 2 C ( Catabelece dan Conection ), beliau menjelaskan bahwa dengan catabelece dan Conection ini akan mengganggu prinsip kehati-hatian.
B. Prinsip 7 P yaitu :
Prinsip 7 P ini sebagai berikut :
1. Party atau Para Pihak yang mengadakan perjanjian saling mengenal karakter satu dengan yang lainnya. Tidak hanya bank yang harus mengenal nasabah yang akan mengajukan kredit, tetapi calon nasabah debitur juga harus memperhatikan kondisi kesehatan perbankan.
2. Purpose atau tujuan yang hendak dicapai dalam rangka peminjaman kredit. Disini tujuan menjadi pembeda yang tegas antara kredit dan utang. Sebab dalam kredit, bank memiliki kewajiban harus mengawasi nasabahnya dalam menggunakan kreditnya agar jangan sampai kredit yang diberikan menimbulkan masalah di kemudian hari.
3. Payment atau pembayaran yang akan dikembalikan oleh nasabah. Bank harus melihat pendapat nasabahnya, bagaimana nasabah tersebut dapat membayar kredit dengan lancar, tentu juga dipengaruhi oleh pendapatannya.
4. Profitability atau perolehan laba yang akan diperoleh oleh bank. Kredit merupakan salah satu cara bank untuk memperoleh laba atau keuntungan yang diambil daribunga maupun bagi hasil atau yang sejenisnya. Dengan demikian, bank harus mempertimbangkan perolehan laba yang hendak diperoleh.
5. Protection atau perlindungan yang berupa jaminan nasabah apabila terjadi sesuatu hal diluar yang telah direncanakan dan diperjanjikan oleh para pihak.
6. Personality atau kepribadian nasabah berdasarkan tingkah laku dan kepribadian nasabah pada kegiatan sehari-hari maupun masa lalunya. Termasuk juga emosi, sikap, dan tindakan nasabah dalammenghadapi suatu masalah.
7. Prospect atau nilai usaha nasabah di maka yang akan datang, menguntungkan atau tidak. Bila bank tidak mampu melihat prospek ini, di kemudian hari apabila tidak terdapat prospek pada usaha yang dibiayai dengan kredit, maka bukan hanya bank yang akan menghadapi risiko kesilitan mengadakan tagihan, tetapi juga nasabah yang menjalankan usahanya akan kesulitan dalam membayar tagihannya.
C. Prinsip 3 R yaitu :
Prinsip 3 R ini sebagai berikut :
1. Returns atau hasil yang diperoleh debitur ketika kredit itu dimanfaatkan.
Bank harus mempertimbangkan apakah kredit yang diajukan akan membawa manfaat sehingga debitur mampu mengembalikan kredit beserta bunga, ongkos-ongkos, dan sebagainya.
2. Repayment atau pembayaran kembali.
Bank harus memperhatikan kemampuan membayar kredit debitur sesuai dengan waktu yang disediakan.
3. Risk Bearing Ability atau kemampuan debitur menanggung risiko bila terjadi hal-hal di luar dugaan kedua belah pihak sehingga menyebabkan kredit menjadi macet.
Disamping pemberian kredit harus berdasar pada prinsip-prinsip pemberian kredit, bank juga mengadakan penilaian berdasarkan aspek-aspek tertentu dalam memberikan kredit kepada nasabahnya. Aspek-aspek tersebut antara lain : Aspek Hukum ; Aspek Pemasaran; Aspek Keuangan; Aspek Operasional; Aspek Manajemen; Aspek Sosial Ekonomi; Aspek AMDAL ( Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
Disiplin pasar yang lebih tinggi yang dikenalkan oleh Islam dalam sistem keuangannya, bagaimanapun, tidak mengesampingkan peran regulasi dan pengawasan. Bank berhubungan dengan dana masyarakat. Dana pihak ketiga jauh lebih besar dari modal, oleh karenanya, tingkat leverage bank lebih besar daripada jenis perusahaan lainnya. Dengan demikian , regulasi dan penegakannya, harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan pengawasan yang efektif. Regulasi yang dibuat seharusnya tidak terlalu kaku dan memberatkan , yang justru akan membatasi kreativitas dan inovasi bank.
Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa dapat dilakukan oleh Bank Syariah kepada :
a. Pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh persen) atau lebih dari modal disetor oleh bank Syariah;
b. Anggota dewan komisaris;
c. Anggota direksi;
d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e. Pejabat Bank lainnya; dan
f. Perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentungan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
Dengan demikian prinsip kehati-hatian merupakan prinsip yang sangat penting dalam pengelolaan perbankan. Kehati-hatian khususnya dalam penyaluran dana menjadi keniscayaan agar bank dalam mengelola dana masyarakat dapat berhasil dengan optimal dan mampu memberi manfaat bagi nasabah yang menginvestasikan dananya pada Bank Syariah yang bersangkutan. Hal ini akan dapat menaikkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah, sehingga pengerahan dana masyarakat untuk kepentingan pembangunan bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal tersebut di atas sebenarnya menentukan kriteria sehat. Suatu Bank dikatakan sehat apabila memenuhi ketentuan yakni ; Kecukupan modal; Kualitas asset; Kualitas manajemen; Likuiditas; Rentabilitas; Solvabilitas; Aspek lain yang berhubungan dengan usaha Bank; Melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian; Tidak merugikan Bank dan kepentingan nasabah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan 4 (empat) hal yang perlu diatur oleh Bank Indonesia dalam rangka pembinaan Bank sehat sebagai badan usaha dan wajib dipenuhi oleh bank. Keempat hal tersebut adalah :
1. Kepercayaan masyarakat pada bank, mengingat Bank sebagai pemegang amanat menyimpan dana dan menjalankan usaha terutama dengan dana masyarakat.
2. Prinsip kehati-hatian, terutama dalam pengambilan keputusan pengelolaan usaha Bank secara rasional sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, karena erat hubungannya dengan risiko, misalnya penyaluran kredit kepada masyarakat, menetapkan suku bunga yang wajar, mengingat Bank menjalankan usaha terutama menggunakan dana masyarakat.
3. Kesehatan Bank, ini merupakan landasan mencapai tujuan, masyarakat hanya akan percaya menyimpan dana pada bank jika Bank itu sehat menurut kriteria yang ditetapkan oleh undang-undang, pengambilan keputusan selalu berpegang pada prinsip kehati-hatian , dan masyarakat harus mengetahui secara transparan tingkat kesehatan Bank.
Ketentuan kehati-hatian meliputi :
a. Menyempurnakan landasan ketentuan kehati-hatian dan Good Corporate Governance
Untuk mencapai hal dimaksud, Bank Indonesia telah dan akan terus mendorong terwujudnya beberapa standar keuangan syariah.
Penyelesaian pernyataan standar akuntansi keuangan akuntansi perbankan syariah dan pedoman akuntansi perbankan syariah Indonesia yang dipersiapkan oleh ikatan Akuntansi Indonesia bekerja sama dengan bank Indonesia dan lembaga keuangan syariah lainnya merupakan salah satu prasyarat untuk dapat menyusun berbagai ketentuan perbankan syariah. Kedua hal dimaksud sudah selesai dalam tahun 2002. Ketentuan-ketentuan yang menjadi prioritas utama pada tahap ini adalah sebagai berikut :
1. Melengkapi ketentuan spesifik untuk perbankan syariah sebagai berikut : Kualitas aktiva produktif; Penyisihan penghapusan aktiva produktif; Fasilitas pembiayaan jangka pendek; Fasilitas likuiditas intra-hari; Ketentuan mengenai laporan bulanan Bank; Kewajiban penyediaan modal minimum; Batas maksimum pemberian pembiayaan; Posisi devisa netto; Tingkat likuiditas; Tingkat kesehatan bank; Transparansi kondisi keuangan Bank.
2. Melengkapi kerangka pengawasan seperti camel rating untuk bank-bank syariah;
3. Penyempurnaan : (i) ketentuan reserve requirement bagi perbankan syariah termasuk penyesuaian giro wajib minimum, secondary reserve dan rasio asset lancer, (ii) ketentuan portofolio aktiva produktif untuk mengantisipasi perkembangan instrument keuangan syariah.
4. Mengembangkan mekanisme kerjasama antara BPRS dengan bank umum syariah dan Unit Usaha Syariah untuk meningkatkan layanan kepada UJM dan masyarakat pedesaan;
5. Melakukan riset akademis dan kegiatan lainnya dalam upaya penjagaan kemungkinan pengusulan UU Perbankan Syariah khusus.
b. Menyempurnakan ketentuan jaringan kantor
Bank Indonesia pada bulan Maret 2002 yang lalu telah mengeluarkan PBI No. 41 /I/PBI/2002 tentang perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional menjadi bank umum berdasarkan prinsip syariah dan prinsip pembukaan kantor bank berdasarkan prinsip syariah oleh bank umum konvensional tanpa mengurangi prinsip kehati-hatian . ketentuan dimaksud , mencakup : (1) konvensi Bank Umum konvensional menjadi Bank Umum Syariah, (2) perkembangan unit usaha syariah dalam kaitannya dengan pembukaan Kantor Cabang pembantu syariah dank o-lokasi (menumpangkan) kantor cabang pembantu syariah di kantor cabang pembantu yang sudah ada.
c. Mengkaji mekanisme umpan balik dalam desain pengaturan perbankan
Bank Indonesia secara konsisten akan selalu mendukung kemungkinan terwujudnya mekanisme umpan balik dalam penyusunan setiap instrument pengaturan bagi perbankan syariah. Dukungan dimaksud, sebenarnya telah mulai direalisasikan dalam bentuk kerja sama dengan berbagai pihak dalam perumusan ketentuan-ketentuan perbankan syariah.
d. Mengkaji penerapan real-time supervision
Untuk meningkatkan efektivitas tugas pengawasan , Bank Indonesia akan mengkaji suatu kemungkinan sistem pengawasan berbasis teknologi informasi. Hal itu, bertujuan real – time supervision bagi bank syariah dan UUUS, sementara BPRSW akan menggunakan sistem yang memungkinkan Bank Indonesia untuk memantau perkembangan harian.
2.2 Analisis
Berbicara tentang Prinsip kehati-hatian kita tidak bisa melepaskan diri dengan faktor pengawasan yang berpedoman pada prinsip 5 C , 7 P dan 3 R.
Penerapan prinsip kehati – hatian ini sangatlah perlu dan dibutuhkan dalam mengelola /dalam manajemen sebuah bank. Dengan menerapkan secara konsisten dan taat asas (istiqomah) prinsip ini maka sebuah bank akan tetap mampu dan dapat mempertahankan likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas bank, seperti yang terlihat melalui besaran non perfoming loan dan meningkatnya return on assets. Prinsip kehati-hatian ini adalah merupakan rohnya sebuah perbankan. Maju mundurnya atau likuid tidaknya sebuah bank sangat dipengaruhi oleh prinsip ini.
Rontoknya likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas bank, seperti yang terlihat melalui besaran non perfoming loan dan merosotnya return on assets, paling tidak dipengaruhi oleh tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian ini secara konsisten dan benar. Penerapan dari sebuah prinsip kehati-hatian adalah adanya lembaga pengawasan intern (internal control) atau menurut saya harus ada pengawasan melekat baik terhadap nasabah maupun terhadap manajemen bank.
Prinsip kehatian – hatian haruslah diartikan sebagai sebuah amanah dan kearifan bagi perbankan dalam mengelola bank, karena bank memengang dan mengelola dana nasabah yang dititipkan kepadanya. Bank harus dapat mempertanggungjawabkan dan menjaga amanah yang dititipkan oleh nasabah tersebut. Amanah ini akan dapat dijaga dan dipertahankan apabila seseorang atau sebuah bank itu menjunjung tinggi profesionalisme.
Secara sederhana prinsip kehati-hatian ini adalah melaksanakan dan atau menerapkan aturan perundang-undangan dibidang perbankan (syariah) secara konsisten (istiqomah) , tentunya tetap berpegang teguh pada prinsip 5 C, 7 P dan 3 R serta 2 C dengan memperhatikan konsep manajemen risiko.
Dengan berpegang pada prinsip – pinsip tersebut di atas maka perbankan akan selalu dipercaya oleh masyarakat, hal ini oleh karena lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat bergantung kepada kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena itu, tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, tentu suatu bank tidak akan mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan hasil analisis di atas, penulis berkesimpulan bahwa :
1. Penerapan prinsip kehati-hatian sangatlah penting dan sangat menentukan dalam pengoperasian dari sebuah bank. Prinsip ini adalah merupakan rohnya bank. Oleh karena itu haruslah diterapkan secara benar dan istiqomah.
2. Prinsip kehati-hatian adalah perwujudan dari nilai-nilai 5 C, 7 R dan 3 R yang dikenal dalam manajemen pengelolaan bank .Prinsip kehati-hatian ini meliputi bukan hanya dari pengelola bank saja melainkan juga harus dari nasabah.
3. Prinsip kehati-hatian ini adalah sarana atau kunci untuk menghindari kredit macet yang akan dialami oleh perbankan yang dapat mengakibatkan rontoknya likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas bank, seperti yang terlihat melalui besaran non perfoming loan dan merosotnya return on assets.
4. Perbankan merupakan institusi yang keberadaannya sangat memerlukan adanya kepercayaan dari masyarakat. Ruh dari perbankan adalah kepercayaan, sehingga apabila kepercayaan masyarakat hilang maka habislah perbankan. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat bank hendaknya mampu melaksanakan dengan optimal prinsip kehati-hatian ini. Terutama dalam pengambilan keputusan pengelolaan usaha Bank secara rasional sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, karena erat hubungannya dengan risiko, misalnya penyaluran kredit kepada masyarakat, menetapkan suku bunga yang wajar, mengingat Bank menjalankan usaha terutama menggunakan dana masyarakat.
5. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yangh disebut Perbankan Syariah.
6. Prudential Banking Principle itu adalah kunci keberhasilan dari sebuah bank ; Yang perlu diperhatikan adalah regulasinya. Oleh karena bank itu adalah industri ( yang regulasinya harus ketat).
3.2 Saran
1. Bahwa untuk lebih mengoptimalkan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengoperasionalisasi Perbankan Syariah, sebaiknya prinsip kehati-hatian ini harus diatur secara tersendiri dalam Undang-undang, tidak cukup diatur dalam Bab atau pasal. Hal ini oleh karena ruang lingkup dan aspek prinsip kehati-hatian ini sangat luas cakupannya dan merupakan roh dari perbankan.
2. Untuk mencegah terjadinya kebangrutan atau insolvennya suatu bank (perbankan syariah) hendaknya prinsip kehati-hatian ini diterapkan secara benar dan sungguh-sungguh serta istiqomah baik oleh manajemen Perbankan Syariah maupun oleh nasabah.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Anshori, Abdul Ghofur, 2008, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008), , Refika Aditama Bandung.
Ali, H. Zainuddin, 2008 , Hukum Pebankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta.
Chapra, M. Umar & Tariquliah Khan, 2008, Regulasi & Pengawasan Bank Syariah , Bumi Aksara, Jakarta.
Harun,Badriyah, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah Solusi Hukum (Legal Action) dan Alternatif Penyelesaian Segala Jenis Kredit Bermasalah, , Pustaka Yustisia, Jakarta.
Hermasyah, 2005 (Edisi Revisi), Hukum Perbankan Nasional Indonesia Ditinjau Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, dan Undang-undang No. 23 tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Kaligis, O.C., 2010, Aspek Hukum Transaksi Derivatif Di Indonesia, PT. Alumni, Bandung.
Muhammad, Abdulkadir & Rilda Murniati, 2000, Lembaga keuangan dan Pembiayaan , Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sjahdeini,Sutan Remy , 2009 , Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia , PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Sutarno, 2003 , Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta Bandung.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa : “ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan , kemandirian , serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional “.
Perbankan Syariah sebagai sebuah lembaga keuangan yang bertugas dan bertujuan memajukan ekonomi bangsa tentunya tunduk dan patuh pada ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 termaksud, sehingga dengan demikian Bank Syariah secara yuridis Normatif dan yuridis empiris diakui keberadannya di Negara Republik Indonesia. Pengakuan secara yuridis normative tercatat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia , diantaranya, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 10 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998 tentang Perbankan, undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selain itu pengakuan secara yuridis empiris dapat dilihat Perbankan Syariah tumbuh dan berkembang pada umumnya di seluruh Ibukota Provinsi dan Kabupaten di Indonesia.
Bahwa sesuai dengan Visinya Perbankan Syariah harus dapat mewujudkan sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian yang mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil ( share-based financing) dan transaksi dalam rangka keadilan, tolong menolong menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat.
Sehubungan dengan operasionalisasi Perbankan Syariah, bank syariah dituntut untuk menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini secara khsusus dan tegas dicantumkan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Mekanisme kebijakan yang sarat diwarnai oleh proses tarik ulur, lemahnya penegakan hukum serta rontoknya keterlibatan hukum, telah memberikan sumbangan yang besar terhadap komplikasi persoalan di lingkungan perbankan. Padahal goyahnya lembaga perbankan tidak hanya disebabkan oleh memburuknya posisi devisa netto dan meroketnya rekening administratif dalam valuta asing, tetapi itu juga berkaitan dengan rontoknya likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas bank, seperti yang terlihat melalui besaran non perfoming loan dan merosotnya return on assets.
Menurut penulis, prinsip kehati-hatian itu harus dijalankan oleh bank tidak hanya karena dihubungkan dengan kewajiban bank untuk tidak merugikan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank, tetapi juga karena kedudukan bank yang istimewa dalam masyarakat, yaitu sebagai bagian dari sistem moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat yang bukan hanya nasabah penyimpan dan dari bank itu saja.
Pelaksanaan prinsip kehati-hatian itu harus pula tercermin dalam kaitannya dengan kewajiban bank berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dikaitkan dengan ketentuan Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian undang-undang tersebut telah diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perbankan diharuskan untuk menempuh kebijakan perkreditan yang berwawasan lingkungan .
Menurut ketentuan Pasal 2 UU No. 10 Tahun 1998 dikemukakan, bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan Demokrasi Ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian dari ketentuan ini , menunjukkan bahwa prinsip kehati-hatian adalah salah satu asas penting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Prinsip kehati-hatian tersebut mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad baik. Akar dari ukuran teknis perbankan itu ternyata bermuara pada dua persoalan pokok , yaitu lemahnya institusi pengawasan dan pudarnya prinsip prudential banking.
Berkaitan dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 di atas, kita dapat menemukan pasal lain di dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang mempertegas kembali mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian ini diterapkan dalam setiap kegiatan usaha bank, yakni dalam Pasal 29 ayat (2) yang mengemukakan bahwa :
“Bahwa bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (2) di atas, maka tidak ada alasan apapun juga bagi pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian. Ini mengandung arti, bahwa segala perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat dalam rangka melakukan kegiatan usahanya harus senantiasa berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Risiko yang sering terjadi dalam usaha perbankan pada umumnya adalah risiko kredit macet atau Non Performing Loan ( NPL). Faktor penyebab risiko kredit macet antara lain karena kesalahan penggunaan kredit, manajemen pengggunaan kredit yang buruk, serta kondisi perekonomian yang mempengaruhi iklim usaha dalam negeri, oleh karena itu apa yang disebut dalam Pasal 8 ayat (1) harus benar-benar diterapkan oleh setiap perbankan , yaitu :
“ Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan “.
Dengan kata lain munculnya atau timbulnya kerugian bagi bank adalah akibat dari banyaknya kredit macet sebagai akibat dari adanya salah kelola atau salah menerapkan prinsip-prinsip manajemen yang baik. Dan untuk menghindari adanya tumpukan kredit macet maka perlu diterapkan prinsip kehati-hatian dengan konsisten (istiqomah).
Untuk melihat sejauh mana pengaruh penerapan Prinsip Kehati hatian ini dalam operasionalisasi lembaga Perbankan khususnya Perbankan Syariah, maka issu sentral yang akan dibahas dalam Tugas atau Makalah ini adalah : “ HAKIKAT PRINSIP KEHATI HATIAN DALAM OPERASIONALISASI PERBANKAN SYARIAH”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Sejauh mana pengaruh penerapan Prinsip Kehati hatian dalam menyehatkan perbankan !
2. Bagaimana fungsi dan peranan prinsip kehati-hatian didalam mengelola dan mengoperasikan bank syariah ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai islam ( syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam sistem hukum nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah.
Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung vital adalah adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut diantaranya dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Pembentukan Undang-undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaan bagi berkembangnya lembaga tersebut. Pengaturan mengenai Perbankan Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha Bank Syariah berkembang cukup pesat.
Dalam penjelasan Pasal 2 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ Prinsip kehati-hatian “ adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka menjalankan asas Prinsip kehati hatian ini, pengelolaan sebuah bank secara baik berdasarkan prinsip-prinsip perbankan yang sehat dan dinamis (prudential banking), harus dilakukan beberapa langkah sebagai berikut :
1. Perumusan kebijaksanaan bank
Secara ringkas ada dua macam kebijaksanaan bank yang perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh, yaitu :
a. Kebijaksanaan yang dirumuskan sesudah pertimbangan-pertimbangan yang matang terhadap konsekuensi dari semua pilihan yang tersedia.
b. Kebijaksanaan yang timbul dari tunggal atau berulang-ulang.
Dalam prudential banking, Dewan Komisaris mempunyai kedudukan yang penting. Mereka bertugas tidak hanya melakukan pengawasan umum atau mengawasi kebijaksanaan , tetapi juga melakukan analisis atas berbagai masalah bank dan memberikan masukan-masukan penting bagi direksi dan staf – staf operasional.
2. Penyusunan rencana pengembangan organisasi
Pada dasarnya , perencanaan organisasi atau mengevaluasi organisasi yang ada adalah pembagian kerja (division of work) yang logis, penetapan garis wewenang yang jelas, pengukuran pelaksanaan dan prestasi. Melalui perencanaan yang demikian akan dapat dibuat struktur organisasi yang sehat dan efektif. Bagi bank-bank yang telah berjalan , dapat pula dilakukan reorganisasi guna penyesuaian organisasi pada kebutuhan bisnis masa kini.
3. Staffing dan pengembangan manajerial skill
Perencanaan manajemen bukanlah melaksanakan sendiri pemecahan masalah-masalah tertentu yang dihadapi, melainkan mengawasi bahwa tindakan-tindakan yang semestinya telah dilaksanakan oleh orang-oranag lain dengan cara yang teratur, efektif dan kontinyu.
4. Pengawasan internal
Kelancaran operasional bank adalah kepentingan paling utama dari direksi (top manajemen) melalui pengawasan, para manejer dapat menentukan tercapai tidaknya harapan mereka. Di samping itu, pengawasan ini dapat membantu manajer mengambil keputusan yang lebih baik.
5. Penetapan sistem manajemen
Sistem manajemen yang kita maksudkan dalam pembahasan ini adalah berhubungan dengan tata cara bank mengatur pola operasional dari berbagai aktivitas bank. Pola ini erat pula dengan sistem sentralisasi maupun desentralisasi.
6. Sound banking business sebagai suatu sistem universal yang harus diikuti oleh manajemen bank.
Sebagai agent of development, bank tidak semata-mata mengejar profit, tetapi juga memperhatikan prioritas-prioritas pembiayaan pembangunan nasional sesuai dengan tahap-tahap yang ditetapkan . dengan demikian , bank sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai financial intermediary atau perantara keuangan dari dua pihak, yakni pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana hendaklah memperhatikan prinsip-prinsip tersebut di atas dalam rangka melindungi pihak yang berkaitan dengannya.
Untuk mengetahui atau menentukan bahwa seseorang dipercaya untuk memperoleh kredit, pada umumnya dunia perbankan menggunakan instrument analisis yang dikenal dengan the fives of credit atau 5 C , 7 P dan 3 R .
A. Prinsip 5 C, yaitu :
1. Character ( Watak) : Watak merupakan bahan pertimbangan untuk mengetahui risiko.
2. Capital (modal) : Seseorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha atau bisnis sangat memerlukan modal untuk memperlancar kegiatan bisnisnya.
3. Capacity ( kemampuan) : Untuk dapat memenuhi kewajiban pembayaran Debitur harus memiliki kemampuan yang memadai yang berasal dari pendapatan pribadi. Seorang analis harus mampu menganalisis kemampuan Debitur untuk membayar kembali hutangnya.
4. Collateral (jaminan) : Jaminan berarti harta kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan guna menjamin kepastian pelunasan hutang jika dikemudian hari Debitur tidak melunasi hutangnya dengan jalan menjual jaminan dan mengambil pelunasan dari penjualan harta kekayaan yang menjadi jaminan itu.
5. Condition of Economy ( kondisi ekonomi): Kondisi ekonomi adalah situasi ekonomi pada waktu dan jangka waktu tertentu dimana kredit itu diberikan oleh Bank kepada pemohon. Apakah kondisi ekonomi pada kurun waktu kredit dapat mempengaruhi usaha dan pendapatan pemohon kredit untuk dapat melunasi hutangnya. Kondisi ekonomi Negara yang buruk sudah pasti mempengaruhi usaha pemohon kredit dan pendapatan perorangan yang akibatnya berdampak pada kemampuan pemohon kredit untuk melunasi hutangnya.
Prof. Dr. H. Abdullah Marlang,SH., MH., dalam kuliahnya menyatakan bahwa selain prinsip 5 C ini masih ada lagi prinsip 2 C ( Catabelece dan Conection ), beliau menjelaskan bahwa dengan catabelece dan Conection ini akan mengganggu prinsip kehati-hatian.
B. Prinsip 7 P yaitu :
Prinsip 7 P ini sebagai berikut :
1. Party atau Para Pihak yang mengadakan perjanjian saling mengenal karakter satu dengan yang lainnya. Tidak hanya bank yang harus mengenal nasabah yang akan mengajukan kredit, tetapi calon nasabah debitur juga harus memperhatikan kondisi kesehatan perbankan.
2. Purpose atau tujuan yang hendak dicapai dalam rangka peminjaman kredit. Disini tujuan menjadi pembeda yang tegas antara kredit dan utang. Sebab dalam kredit, bank memiliki kewajiban harus mengawasi nasabahnya dalam menggunakan kreditnya agar jangan sampai kredit yang diberikan menimbulkan masalah di kemudian hari.
3. Payment atau pembayaran yang akan dikembalikan oleh nasabah. Bank harus melihat pendapat nasabahnya, bagaimana nasabah tersebut dapat membayar kredit dengan lancar, tentu juga dipengaruhi oleh pendapatannya.
4. Profitability atau perolehan laba yang akan diperoleh oleh bank. Kredit merupakan salah satu cara bank untuk memperoleh laba atau keuntungan yang diambil daribunga maupun bagi hasil atau yang sejenisnya. Dengan demikian, bank harus mempertimbangkan perolehan laba yang hendak diperoleh.
5. Protection atau perlindungan yang berupa jaminan nasabah apabila terjadi sesuatu hal diluar yang telah direncanakan dan diperjanjikan oleh para pihak.
6. Personality atau kepribadian nasabah berdasarkan tingkah laku dan kepribadian nasabah pada kegiatan sehari-hari maupun masa lalunya. Termasuk juga emosi, sikap, dan tindakan nasabah dalammenghadapi suatu masalah.
7. Prospect atau nilai usaha nasabah di maka yang akan datang, menguntungkan atau tidak. Bila bank tidak mampu melihat prospek ini, di kemudian hari apabila tidak terdapat prospek pada usaha yang dibiayai dengan kredit, maka bukan hanya bank yang akan menghadapi risiko kesilitan mengadakan tagihan, tetapi juga nasabah yang menjalankan usahanya akan kesulitan dalam membayar tagihannya.
C. Prinsip 3 R yaitu :
Prinsip 3 R ini sebagai berikut :
1. Returns atau hasil yang diperoleh debitur ketika kredit itu dimanfaatkan.
Bank harus mempertimbangkan apakah kredit yang diajukan akan membawa manfaat sehingga debitur mampu mengembalikan kredit beserta bunga, ongkos-ongkos, dan sebagainya.
2. Repayment atau pembayaran kembali.
Bank harus memperhatikan kemampuan membayar kredit debitur sesuai dengan waktu yang disediakan.
3. Risk Bearing Ability atau kemampuan debitur menanggung risiko bila terjadi hal-hal di luar dugaan kedua belah pihak sehingga menyebabkan kredit menjadi macet.
Disamping pemberian kredit harus berdasar pada prinsip-prinsip pemberian kredit, bank juga mengadakan penilaian berdasarkan aspek-aspek tertentu dalam memberikan kredit kepada nasabahnya. Aspek-aspek tersebut antara lain : Aspek Hukum ; Aspek Pemasaran; Aspek Keuangan; Aspek Operasional; Aspek Manajemen; Aspek Sosial Ekonomi; Aspek AMDAL ( Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
Disiplin pasar yang lebih tinggi yang dikenalkan oleh Islam dalam sistem keuangannya, bagaimanapun, tidak mengesampingkan peran regulasi dan pengawasan. Bank berhubungan dengan dana masyarakat. Dana pihak ketiga jauh lebih besar dari modal, oleh karenanya, tingkat leverage bank lebih besar daripada jenis perusahaan lainnya. Dengan demikian , regulasi dan penegakannya, harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan pengawasan yang efektif. Regulasi yang dibuat seharusnya tidak terlalu kaku dan memberatkan , yang justru akan membatasi kreativitas dan inovasi bank.
Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa dapat dilakukan oleh Bank Syariah kepada :
a. Pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh persen) atau lebih dari modal disetor oleh bank Syariah;
b. Anggota dewan komisaris;
c. Anggota direksi;
d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e. Pejabat Bank lainnya; dan
f. Perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentungan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
Dengan demikian prinsip kehati-hatian merupakan prinsip yang sangat penting dalam pengelolaan perbankan. Kehati-hatian khususnya dalam penyaluran dana menjadi keniscayaan agar bank dalam mengelola dana masyarakat dapat berhasil dengan optimal dan mampu memberi manfaat bagi nasabah yang menginvestasikan dananya pada Bank Syariah yang bersangkutan. Hal ini akan dapat menaikkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah, sehingga pengerahan dana masyarakat untuk kepentingan pembangunan bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal tersebut di atas sebenarnya menentukan kriteria sehat. Suatu Bank dikatakan sehat apabila memenuhi ketentuan yakni ; Kecukupan modal; Kualitas asset; Kualitas manajemen; Likuiditas; Rentabilitas; Solvabilitas; Aspek lain yang berhubungan dengan usaha Bank; Melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian; Tidak merugikan Bank dan kepentingan nasabah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan 4 (empat) hal yang perlu diatur oleh Bank Indonesia dalam rangka pembinaan Bank sehat sebagai badan usaha dan wajib dipenuhi oleh bank. Keempat hal tersebut adalah :
1. Kepercayaan masyarakat pada bank, mengingat Bank sebagai pemegang amanat menyimpan dana dan menjalankan usaha terutama dengan dana masyarakat.
2. Prinsip kehati-hatian, terutama dalam pengambilan keputusan pengelolaan usaha Bank secara rasional sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, karena erat hubungannya dengan risiko, misalnya penyaluran kredit kepada masyarakat, menetapkan suku bunga yang wajar, mengingat Bank menjalankan usaha terutama menggunakan dana masyarakat.
3. Kesehatan Bank, ini merupakan landasan mencapai tujuan, masyarakat hanya akan percaya menyimpan dana pada bank jika Bank itu sehat menurut kriteria yang ditetapkan oleh undang-undang, pengambilan keputusan selalu berpegang pada prinsip kehati-hatian , dan masyarakat harus mengetahui secara transparan tingkat kesehatan Bank.
Ketentuan kehati-hatian meliputi :
a. Menyempurnakan landasan ketentuan kehati-hatian dan Good Corporate Governance
Untuk mencapai hal dimaksud, Bank Indonesia telah dan akan terus mendorong terwujudnya beberapa standar keuangan syariah.
Penyelesaian pernyataan standar akuntansi keuangan akuntansi perbankan syariah dan pedoman akuntansi perbankan syariah Indonesia yang dipersiapkan oleh ikatan Akuntansi Indonesia bekerja sama dengan bank Indonesia dan lembaga keuangan syariah lainnya merupakan salah satu prasyarat untuk dapat menyusun berbagai ketentuan perbankan syariah. Kedua hal dimaksud sudah selesai dalam tahun 2002. Ketentuan-ketentuan yang menjadi prioritas utama pada tahap ini adalah sebagai berikut :
1. Melengkapi ketentuan spesifik untuk perbankan syariah sebagai berikut : Kualitas aktiva produktif; Penyisihan penghapusan aktiva produktif; Fasilitas pembiayaan jangka pendek; Fasilitas likuiditas intra-hari; Ketentuan mengenai laporan bulanan Bank; Kewajiban penyediaan modal minimum; Batas maksimum pemberian pembiayaan; Posisi devisa netto; Tingkat likuiditas; Tingkat kesehatan bank; Transparansi kondisi keuangan Bank.
2. Melengkapi kerangka pengawasan seperti camel rating untuk bank-bank syariah;
3. Penyempurnaan : (i) ketentuan reserve requirement bagi perbankan syariah termasuk penyesuaian giro wajib minimum, secondary reserve dan rasio asset lancer, (ii) ketentuan portofolio aktiva produktif untuk mengantisipasi perkembangan instrument keuangan syariah.
4. Mengembangkan mekanisme kerjasama antara BPRS dengan bank umum syariah dan Unit Usaha Syariah untuk meningkatkan layanan kepada UJM dan masyarakat pedesaan;
5. Melakukan riset akademis dan kegiatan lainnya dalam upaya penjagaan kemungkinan pengusulan UU Perbankan Syariah khusus.
b. Menyempurnakan ketentuan jaringan kantor
Bank Indonesia pada bulan Maret 2002 yang lalu telah mengeluarkan PBI No. 41 /I/PBI/2002 tentang perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional menjadi bank umum berdasarkan prinsip syariah dan prinsip pembukaan kantor bank berdasarkan prinsip syariah oleh bank umum konvensional tanpa mengurangi prinsip kehati-hatian . ketentuan dimaksud , mencakup : (1) konvensi Bank Umum konvensional menjadi Bank Umum Syariah, (2) perkembangan unit usaha syariah dalam kaitannya dengan pembukaan Kantor Cabang pembantu syariah dank o-lokasi (menumpangkan) kantor cabang pembantu syariah di kantor cabang pembantu yang sudah ada.
c. Mengkaji mekanisme umpan balik dalam desain pengaturan perbankan
Bank Indonesia secara konsisten akan selalu mendukung kemungkinan terwujudnya mekanisme umpan balik dalam penyusunan setiap instrument pengaturan bagi perbankan syariah. Dukungan dimaksud, sebenarnya telah mulai direalisasikan dalam bentuk kerja sama dengan berbagai pihak dalam perumusan ketentuan-ketentuan perbankan syariah.
d. Mengkaji penerapan real-time supervision
Untuk meningkatkan efektivitas tugas pengawasan , Bank Indonesia akan mengkaji suatu kemungkinan sistem pengawasan berbasis teknologi informasi. Hal itu, bertujuan real – time supervision bagi bank syariah dan UUUS, sementara BPRSW akan menggunakan sistem yang memungkinkan Bank Indonesia untuk memantau perkembangan harian.
2.2 Analisis
Berbicara tentang Prinsip kehati-hatian kita tidak bisa melepaskan diri dengan faktor pengawasan yang berpedoman pada prinsip 5 C , 7 P dan 3 R.
Penerapan prinsip kehati – hatian ini sangatlah perlu dan dibutuhkan dalam mengelola /dalam manajemen sebuah bank. Dengan menerapkan secara konsisten dan taat asas (istiqomah) prinsip ini maka sebuah bank akan tetap mampu dan dapat mempertahankan likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas bank, seperti yang terlihat melalui besaran non perfoming loan dan meningkatnya return on assets. Prinsip kehati-hatian ini adalah merupakan rohnya sebuah perbankan. Maju mundurnya atau likuid tidaknya sebuah bank sangat dipengaruhi oleh prinsip ini.
Rontoknya likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas bank, seperti yang terlihat melalui besaran non perfoming loan dan merosotnya return on assets, paling tidak dipengaruhi oleh tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian ini secara konsisten dan benar. Penerapan dari sebuah prinsip kehati-hatian adalah adanya lembaga pengawasan intern (internal control) atau menurut saya harus ada pengawasan melekat baik terhadap nasabah maupun terhadap manajemen bank.
Prinsip kehatian – hatian haruslah diartikan sebagai sebuah amanah dan kearifan bagi perbankan dalam mengelola bank, karena bank memengang dan mengelola dana nasabah yang dititipkan kepadanya. Bank harus dapat mempertanggungjawabkan dan menjaga amanah yang dititipkan oleh nasabah tersebut. Amanah ini akan dapat dijaga dan dipertahankan apabila seseorang atau sebuah bank itu menjunjung tinggi profesionalisme.
Secara sederhana prinsip kehati-hatian ini adalah melaksanakan dan atau menerapkan aturan perundang-undangan dibidang perbankan (syariah) secara konsisten (istiqomah) , tentunya tetap berpegang teguh pada prinsip 5 C, 7 P dan 3 R serta 2 C dengan memperhatikan konsep manajemen risiko.
Dengan berpegang pada prinsip – pinsip tersebut di atas maka perbankan akan selalu dipercaya oleh masyarakat, hal ini oleh karena lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat bergantung kepada kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena itu, tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, tentu suatu bank tidak akan mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan hasil analisis di atas, penulis berkesimpulan bahwa :
1. Penerapan prinsip kehati-hatian sangatlah penting dan sangat menentukan dalam pengoperasian dari sebuah bank. Prinsip ini adalah merupakan rohnya bank. Oleh karena itu haruslah diterapkan secara benar dan istiqomah.
2. Prinsip kehati-hatian adalah perwujudan dari nilai-nilai 5 C, 7 R dan 3 R yang dikenal dalam manajemen pengelolaan bank .Prinsip kehati-hatian ini meliputi bukan hanya dari pengelola bank saja melainkan juga harus dari nasabah.
3. Prinsip kehati-hatian ini adalah sarana atau kunci untuk menghindari kredit macet yang akan dialami oleh perbankan yang dapat mengakibatkan rontoknya likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas bank, seperti yang terlihat melalui besaran non perfoming loan dan merosotnya return on assets.
4. Perbankan merupakan institusi yang keberadaannya sangat memerlukan adanya kepercayaan dari masyarakat. Ruh dari perbankan adalah kepercayaan, sehingga apabila kepercayaan masyarakat hilang maka habislah perbankan. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat bank hendaknya mampu melaksanakan dengan optimal prinsip kehati-hatian ini. Terutama dalam pengambilan keputusan pengelolaan usaha Bank secara rasional sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, karena erat hubungannya dengan risiko, misalnya penyaluran kredit kepada masyarakat, menetapkan suku bunga yang wajar, mengingat Bank menjalankan usaha terutama menggunakan dana masyarakat.
5. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yangh disebut Perbankan Syariah.
6. Prudential Banking Principle itu adalah kunci keberhasilan dari sebuah bank ; Yang perlu diperhatikan adalah regulasinya. Oleh karena bank itu adalah industri ( yang regulasinya harus ketat).
3.2 Saran
1. Bahwa untuk lebih mengoptimalkan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengoperasionalisasi Perbankan Syariah, sebaiknya prinsip kehati-hatian ini harus diatur secara tersendiri dalam Undang-undang, tidak cukup diatur dalam Bab atau pasal. Hal ini oleh karena ruang lingkup dan aspek prinsip kehati-hatian ini sangat luas cakupannya dan merupakan roh dari perbankan.
2. Untuk mencegah terjadinya kebangrutan atau insolvennya suatu bank (perbankan syariah) hendaknya prinsip kehati-hatian ini diterapkan secara benar dan sungguh-sungguh serta istiqomah baik oleh manajemen Perbankan Syariah maupun oleh nasabah.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Anshori, Abdul Ghofur, 2008, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008), , Refika Aditama Bandung.
Ali, H. Zainuddin, 2008 , Hukum Pebankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta.
Chapra, M. Umar & Tariquliah Khan, 2008, Regulasi & Pengawasan Bank Syariah , Bumi Aksara, Jakarta.
Harun,Badriyah, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah Solusi Hukum (Legal Action) dan Alternatif Penyelesaian Segala Jenis Kredit Bermasalah, , Pustaka Yustisia, Jakarta.
Hermasyah, 2005 (Edisi Revisi), Hukum Perbankan Nasional Indonesia Ditinjau Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, dan Undang-undang No. 23 tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Kaligis, O.C., 2010, Aspek Hukum Transaksi Derivatif Di Indonesia, PT. Alumni, Bandung.
Muhammad, Abdulkadir & Rilda Murniati, 2000, Lembaga keuangan dan Pembiayaan , Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sjahdeini,Sutan Remy , 2009 , Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia , PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Sutarno, 2003 , Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta Bandung.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar